Hi, guest | Welcome to blog AW 7 | Register | Sign in
Advertise | Contact | About | Live Music | Donation | Sitemap

KELAHIRAN SEBUAH KEHIDUPAN ADALAH KONTROVERSI. HIDUP TANPA KONTROVERSI ADALAH SEMU

۩AW 7۩

::::SAYA HANYA MANUSIA BIASA, BUKANLAH DEWA, YANG HANYA INGIN BERBAGI ILMU YANG SAYA PUNYA SEADANYA::::

Kamis, 29 September 2011

PERJALANAN PANJANG ARI LASSO "(Gk Kaya Vokalis Sekarang)" Bagian 1

oleh Wendi Putranto



Delapan tahun menjadi pecandu narkotika, tiga belas kali rehab, satu kali percobaan bunuh diri, ‘dipecat’ dari Dewa19, pacar hamil di luar nikah hingga kebangkrutan total, Ari Lasso adalah sosok bintang pop menye-menye yang jauh dari apapun yang terbayang dalam benak Anda.



Jika Anda selama ini membayangkan bintang rock sebagai sosok pemberontak nan urakan, keren namun liar, berideologi sex, drugs and rock n’ roll, mungkin Anda salah besar. Orang ini tidak setampan Elvis Presley, tidak sedepresif Kurt Cobain atau setragis Layne Staley, walaupun semuanya sama-sama pernah dipersatukan oleh narkotika. Pria bersuara emas yang berkacamata ini penampilannya menjurus kutu buku, memiliki religiositas tinggi dan kerap menyanyikan lagu-lagu pop percintaan. Siapa sangka kisah hidupnya lebih mengejutkan dari sinetron cengeng apapun di layar televisi.



Figur ini adalah Ari Lasso, mantan vokalis Dewa19 yang kini merupakan artis solo dengan angka penjualan album terbesar di Indonesia. “Kalau ada orang mau cerita tentang hidup dengan gue, termasuk musisi segelap apapun, mau metal, mau cerita tentang kegelapan, ah, buat gue cemen,” tukas Ari, “belum ada apa-apanya sama kisah hidup gue. Gue punya cerita yang lebih gila dari semua itu. Kecuali kalau mereka mati atau belum sembuh dari drugs sekarang. Itu udah pilihan hidup, mereka gagal dalam mengatasi diri mereka sendiri.” Ari Lasso memang tidak bermaksud menyombongkan diri malam itu. Ia sekadar berbagi cerita hidupnya yang sarat romantika.



Awal tahun 90-an sebuah band asal Surabaya bernama Dewa19 sukses menembus industri musik ibukota dengan singel “Kangen (Ku’kan Datang)”. Album yang terjual hampir 300.000 keping di seluruh Indonesia itu kemudian membuat nama Dewa19 cukup dikenal di kalangan musisi ibukota. Salah satu komunitas musik yang sangat disegani saat itu adalah Pulau Biru yang berlokasi di Jalan Potlot, Duren Tiga, Jakarta. Slank yang menjadi pelopor lahirnya komunitas ini merupakan band yang sangat diidolakan para personel Dewa19, khususnya oleh Dhani Ahmad dan Ari Lasso.



“Pulau Biru buat gue saat itu adalah sebuah tempat yang pingin banget gue datengin,” cerita Ari Lasso, “Gue kagum karena di situ musik dari berbagai macam aliran bisa bersatu. Di Surabaya geng rock itu berdiri sendiri-sendiri. Di Potlot semua ada, reggae ada, Slank ada, rock n’ roll apalagi. Iwa K yang rap juga ada. Spirit musikalnya hebat.” Ari bercerita bahwa Dhani yang saat itu berkuliah di STEKPI, yang lokasi kampusnya berada tak jauh dari sana, sudah lebih dulu mengenal komunitas Potlot. Ari menyusul bergabung di sana setelah Dhani.



Lasso melanjutkan bahwa perkenalan pertamanya dengan putaw juga berawal dari komunitas ini. Ia ingat pada bulan September 1993, Kaka, vokalis Slank adalah orang pertama yang memperkenalkannya pada narkotika sejenis heroin tersebut. “Ri, ada barang baru nih, namanya putaw. Heroin,” ujar Ari menirukan ajakan Kaka ketika itu. Ari mengaku saat itu langsung mencoba putaw sekadar untuk membuktikan bahwa dirinya tak mungkin terkalahkan oleh mabukan zat kimia.



Pria yang dilahirkan di Madiun pada tanggal 17 Januari 1973 ini sebenarnya bukan orang baru lagi di dunia perteleran Surabaya. Sebelum berkenalan dengan heroin ia mengaku sudah sangat gila mabuk. Walau sempat mengganja, menenggak alkohol dan mengonsumsi obat-obatan psikotropika namun ia tidak pernah sekalipun menjadi pecandu. “Sebelum putaw, gue kalau makan dumolit itu sekali telan 16 butir,” tukas Lasso jujur, “Kaka sempat juga gue ‘racunin’ Livotril sampai nyebur ke sungai di Jalan Potlot.” Kabarnya karena “kebrutalan” inilah Dhani kemudian menjuluki Ari Lasso sebagai orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mabuk. Ari mengatakan bahwa setelah menjajal putaw ia pun menjadi maklum jika banyak orang yang kemudian kecanduan. “Memang enak banget rasanya. Puncak kenikmatan semua jenis drugs,” kenang Ari lagi.



Ketika saya dan Ari Lasso membongkar masa lalunya hingga dini hari di rumahnya di Bintaro Jaya, ketiga anak dan istrinya telah tertidur. Ia tampak telah mengantisipasi dengan baik anak-anaknya dari kisah sangar masa lalunya.



Puteri pertamanya yang kini berusia tujuh tahun bernama Aura Maharani Lasso, sementara adiknya yang juga perempuan, Audra Anandira Lasso berusia tiga tahun. Puteranya yang paling bontot adalah Abraham Lasso, satu tahun. “Gue menamakan mereka semua dengan awalan huruf A agar mereka memiliki keberanian jika dipanggil guru ke depan kelas,” tukas Lasso penuh semangat, “Biar mereka memiliki keberanian dan menjadi leader, makanya namanya di absen harus selalu di jajaran atas.”



Memasuki ruang tamu kediamannya saya cukup tertegun melihat tumpukan beragam buku yang berserakan di mana-mana. Ia sempat memamerkan buku Di bawah Bendera Revolusi yang baru ia dapat dari sebuah toko buku langganannya. “Yang ini cetakan ketiga tahun 1964, gue masih mencari cetakan pertamanya,” ujarnya tentang buku tebal karangan Soekarno tersebut.



“Gue aslinya kutu buku. Ketika gue pakaw, buku selalu ada di tas, minimal Tempo atau novel selalu ada,” kenang Ari, “Dari kelas empat SD gue sudah punya perpustakaan dan sangat menjaga buku-buku. Gue sayang banget sama buku dan CD-CD gue.” Ia mengatakan bahwa sekarang membaca buku hanya dilakukan sebagai hiburan di kala senggang, karena kesibukannya show dan rekaman membuat waktu membacanya kini sangat berkurang. “Di kamar gue sekarang ada novel, Robert Kiyosaki, kemudian buku Dialektika Pencerahan. Di teras belakang ada majalah Rolling Stone, Hai dan kawan-kawan. Di meja makan ada Kompas yang menemani sarapan pagi. Di kantor manajemen juga ada beberapa buku lain kemudian di ruang tamu gue itu buku-buku musik. Pokoknya, di mana pun gue duduk ada hiburan,” ujarnya seraya menunjuk ke pelbagai penjuru rumahnya.



Di lemari kaca klasik yang terletak di ruang tamu itu saya mendapati koleksi puluhan korek api ala Zippo berbagi ruang dengan koleksi CD dan buku-bukunya yang bertema aneka ragam, mulai dari filsafat, agama, politik dan tentunya musik. Buku According To The Rolling Stones karangan Jagger, Richards, Watts dan Wood serta biografi The Beatles sempat saya lihat juga di sana. Pada rak kaca yang terletak tepat di atas sofa, tersusun rapi selusin penghargaan yang pernah ia terima selama berkarier sebagai artis solo. “Gue agak bingung waktu menerima penghargaan sebagai ‘The Most Inspiring Artist 2005’ dari MTV Indonesia,” kata Ari sembari memperlihatkan sebuah kotak berisi trofi kepada saya. “Setahu gue kategori ini untuk mereka yang sudah tua dan telah menginspirasi banyak orang.”



Ari bercerita kepada saya bahwa rumah yang ia tempati kini adalah rumah kontrakan. Belakangan ini ia tengah sibuk menjadi “mandor” bagi proyek rumah kediamannya yang letaknya tak jauh dari kontrakannya kini. Ia menjelaskan rumah dua tingkat yang tengah ia bangun itu luas tanahnya cukup besar dan memungkinkan dirinya untuk membuat kolam renang di halaman belakangnya. “Sayang sekali rumah gue belum jadi, padahal kalau kita wawancara dan foto di sana, suasananya jauh lebih keren dari yang ini,” tuturnya. Ari lantas mengajak saya ke meja makan yang terletak di bagian belakang rumah kontrakannya agar lebih leluasa bercerita. Beberapa kaleng Bintang menemani perbincangan seru kami.



Ari melanjutkan bahwa dirinya sadar telah kecanduan itu pada bulan Mei 1994 atau tepatnya delapan bulan setelah perkenalan pertamanya dengan putaw tadi. Kebetulan ia tengah pulang ke Surabaya dan mengaku sulit tidur karena tidak mengonsumsi putaw yang saat itu sulit ditemukan selain di Jakarta. Tak betah berlama-lama, Ari lantas kembali ke Jakarta. Kebetulan saat itu Dewa menjelang rekaman album ketiga, Terbaik Terbaik. Di dalam studio rekaman ia terlihat berdiam diri saja. Billy J. Budiarjo dan Rere, drummer Grass Rock yang ikut sesi rekaman album ini pun mempertanyakan sikap aneh Lasso. Ia menjawab dengan polosnya, “Nggak tahu nih, mas. Kadang saya kedinginan, muntah-muntah, tenggorokan saya gatel, perut saya mules, mencret-mencret,” tukasnya santai.



Saat itu ia masih menampik kalau dirinya kecanduan putaw, dengan naifnya ia malah menegaskan bahwa dirinya harus profesional, “Masak lagi rekaman, mau kerja makai, nggak dong,” ujar Lasso yang langsung direspon tertawaan semua orang satu studio. “Yah, ini anak goblok banget,” kata Ari menirukan komentar Rere dan Billy J. Budiarjo. Akhirnya mereka memberi Lasso putaw lagi dan ia kaget karena tiba-tiba sehat lagi dalam waktu singkat. “Di situlah gue tahu kalau gue addict, sebelumnya kalau lagi sakaw gue anggap sakit biasa aja,” tukas Ari seraya tertawa.



Lasso menjelaskan bahwa dirinya cocok menggunakan putaw karena pada dasarnya ia tidak terlalu bergaul, ini jika tidak ingin disebut kurang pergaulan. Ia mengaku hanya percaya pada beberapa orang saja. “Gue akan sangat terbuka dengan orang yang gue percaya dan dari dulu teman gue memang nggak banyak,” ujarnya, “sahabat gue juga cuma itu-itu saja.” Pergaulan yang ia lakukan menurutnya lebih mirip sosialisasi dan ia bukanlah tipe orang yang setiap hari dapat menghabiskan waktu bersama teman-teman. Justru “persahabatannya” dengan putaw ini membuat dirinya makin tenggelam dalam kesendirian. Ketika teler ia lebih senang mengurung diri di kamar seraya mendengarkan musik grunge dari Pearl Jam atau Soundgarden yang saat itu menjadi favoritnya.



Ia mengakui benturan pertamanya pada popularitas mengakibatkan dirinya labil. Sebagai putera daerah yang tidak pernah memiliki banyak uang, ia mengaku sempat shock. “Gue kalau malam mingguan biasanya cuma punya duit tiga ribu rupiah. Seribu tujuh ratus lima puluh rupiah untuk Vodka sebotol, lima ratus rupiah untuk bensin motor dan sisanya beli rokok,” ujarnya terkekeh-kekeh. “Tiba-tiba saja punya duit banyak. Gue bisa memilih item mabukan yang berkelas.” Diakui olehnya bahwa putaw membuatnya dapat bersembunyi dari publik. Ia mulai merasa tidak nyaman setelah mulai dikenali orang banyak dan belum menyadari itu adalah sebuah konsekuensi sebagai artis. “Gue ramah dengan fans itu baru ketika bersolo. Dulu gue tengil dengan fans,” ujarnya, “bukan sombong, hanya bagi gue mereka terlalu berlebihan dalam memandang diri gue. Ngapain juga?”



Ari menganggap ketika dirinya berada di atas panggung sah-sah saja orang berlaku seperti itu, namun jika tengah berada di mal dan seketika dikerubungi orang banyak, “gue benci banget tuh,” ujarnya, “mungkin karena saat itu masih muda.” Namun ia mengaku ketika tengah teler berada di mana saja dalam keadaan apapun ia tak peduli.



Jika Ari Lasso terkesan sangat jujur ketika bercerita tentang pengalamannya dengan narkotika, lain halnya ketika ia ditanya bagian lain kehidupannya dalam epos sex, drugs and rock n’ roll. Saya menangkap kesan pria pengagum berat Thom Yorke dan Bryan Adams ini sangat berhati-hati dalam menjawab pertanyaan tentang seks. “Kalau untuk yang satu ini gue agak jaim,” katanya sembari tersenyum. Ia menambahkan, “Gue punya imajinasi yang gila tentang seks. Buat gue seks itu kebutuhan utama, walau tidak selalu artinya berhubungan seks tapi rangsangan seksual meskipun personal buat gue itu energi.”



Ia kerap mengelak ketika saya bertanya tentang pengalamannya bersama groupies perempuan di jaman Dewa19 dulu. “Groupies nggak terlalu, karena gue tenggelam dalam putaw, lebih senang menyendiri,” kilahnya diplomatis. Ketika pertanyaan penalti saya lontarkan akhirnya ia mau sedikit berkomentar. “Pada masa-masa jahiliyah, sebelum married itu iya,” ujarnya dengan nada suara merendah. “Ada sih jaman gila yang berhubungan dengan aktivitas seksual gue. Gue agak gila ketika menggunakan shabu,” katanya seraya menahan tertawa.



“Orgy?” tanya saya. “Nggak sampai.”



“Gangbang?” tanya saya lagi. “Nggak sampai juga,” jawabnya lirih.



“Karena gue seorang penikmat kesendirian makanya terkadang imajinasi jauh lebih nikmat dari apapun yang kita hadapi,” kali ini saya yakin ia kembali berdiplomasi. “Gue bukan orang yang frontal atau orang yang rude. Elu harus ingat itu,” nada bicaranya mulai meninggi, saya mulai berpikir untuk mencari pertanyaan lain. Sejenak ia berkomentar lagi, “Tapi dengan seseorang yang gue percaya dan dekat, kita bisa eksplor itu berbagai macam cara, kuncinya cuma di benak kita. Gue bermain di otak gue.” Lasso percaya bahwa perkawinan baginya merupakan ritus sekali dalam seumur hidup, “iman gue bilang begitu.” Ternyata keluarga baginya adalah segala-galanya.



Untuk sesaat Ari Lasso menghentikan ceritanya. Seraya menghembuskan asap rokoknya, tangan kirinya meraih kaleng Bintang dan mereguknya perlahan. “Gue mau cerita sesuatu yang belum pernah gue ungkap sebelumnya ke media manapun. Teman-teman gue tahu, tapi kebanyakan nggak percaya. Ini cerita yang legend.” Tak ingin cerita ini terganggu, saya pun pamit sebentar ke kamar mandi, efek Bintang. Ketika saya kembali Ari dengan tenang memulai ceritanya. “Gue pernah commited suicide dan koma selama tiga hari di kamar gue di Surabaya,” ujar Lasso yang mengaku merinding ketika menceritakannya kembali ke saya.



Lasso ingat jelas bahwa kejadian tersebut jatuh pada tanggal 20 November 1995. Ia merasa semua yang didapatnya dari Dewa19 tidak sebanding dengan kehancuran tubuhnya. Kematian Kurt Cobain setahun sebelumnya ikut menginspirasi percobaan bunuh dirinya ini. “Ketenaran yang tanggung, materi yang tanggung ditambah lagi kuliah gue D.O. Gue takut mengecewakan orang tua gue,” kata Ari yang sempat tembus UMPTN 1991 dan diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Sebelumnya Lasso telah menjalani dua kali rehab di tahun 1995. “Gue menelan dumolit 38 butir, sebotol Johnny Walker berdua dengan teman gue dan 1,5 gram heroin saat itu,” ujarnya. Di rumahnya kebetulan tidak ada orang tuanya yang saat itu tengah pergi ke Pekanbaru. Ketika temannya pulang pada pukul dua dinihari, Ari pun melanjutkan misi bunuh diri. Ia sempat menulis surat perpisahan yang berisi permohonan maaf bagi kedua orang tua dan saudara-saudara yang telah direpotkan olehnya selama ini.



Kali ini Ari Lasso beranjak dari duduknya dan merekonstruksi langsung kejadian itu di lantai yang berada tepat di belakang meja makan. “Gue menyuntikan seperempat gram putaw di lengan kiri dan lengan kanan. Gue telan juga semua Dumolitnya. Gue tahu rocker-rocker legendaris itu matinya karena kombinasi obat penenang dan heroin. Katanya matinya itu enak, tertidur dulu oleh obat baru kemudian gagal napas,” ujarnya. Ia lantas mengambil posisi duduk bersila dan menjuntaikan kepalanya di lantai. “Terakhir yang gue ingat saat itu gue lagi dengerin ‘Black’ Pearl Jam. Setelah itu gue benar-benar black out.” Lasso mengaku aksi itu terjadi hari Senin dinihari dan ia baru tersadarkan diri pada Selasa siang dengan posisi seperti semula dan jarum suntik masih menempel di lengannya. “Ini suicidal experiment, bukan Suicidal Tendencies lagi,” ujarnya tertawa kecil.



Sebagai orang yang sempat mendedikasikan dirinya kepada mabuk-mabukan, Lasso adalah junkie yang cukup cekatan dalam melakukan riset kimiawi. Ia mengaku mempelajari semua tentang drugs secara mendalam. “Buku gue tentang heroin banyak. Rumus kimia heroin itu Diacetyl Morphine, Bensodiasepin itu adalah golongan obat-obat semacam Nipam dan kawan-kawan. Gue belajar banyak tentang zat-zat itu.”



Ketika pengetahuannya tentang drugs makin mendalam sebenarnya ada satu ketakutan yang selalu menghantui Lasso. Ia merasa banyak penggemarnya terinspirasi menggunakan drugs setelah membaca pengalaman dirinya dari pemberitaan heboh di berbagai tabloid. “Itu salah satu perasaan berdosa gue,” katanya lemas. Pernah katanya, setelah ia usai konser di Solo seorang penggemarnya datang ke belakang panggung untuk memamerkan sesuatu kepadanya. “Mas Ari, sekarang saya sama dengan mas. Saya juga sudah punya needle track nih,” ucap Ari menirukan komentar penggemarnya itu, “gila nggak, tuh!”



Namun Ari tetap mengakui bahwa peran penggemar adalah salah satu faktor utama yang menyelamatkan karirnya dari keterpurukan. Ia terkadang sering merenungi mengapa penggemarnya bisa lintas generasi, lintas strata ekonomi dan lintas latar belakang. “Seorang penyanyi pop kayak gue sebenarnya nggak pantas untuk bernyanyi di stadion,” ujarnya merendah. Ia juga bercerita bahwa perlakuan orang kepadanya kini memang di luar dugaan. “Gue jalan di Blok M, tempat sepreman apapun, nggak ada orang yang mencibir gue. Kayaknya mereka tahu latar belakang gue,” tukasnya. “Gue nggak pernah dicemenin atau dikurangajarin oleh orang-orang seperti itu. Di mal jika ketemu ibu-ibu mapan, anak kecil wangi, usahawan Chinese mereka selalu baik dengan gue. Tommy Winata aja baik sama gue,” katanya sambil tertawa. “Lagu boleh cinta sejati, lagu boleh hampa, tapi hidupnya sebenarnya gila. Ini takdir saja kalau suara gue cocoknya menyanyikan lagu-lagu seperti itu.”



Perkenalan pertama saya dengan Ari Lasso berlangsung di Studio Aquarius yang terletak di bilangan Pondok Indah, Jakarta. Saat ini ia memang tengah sibuk menggarap album terbarunya yang ke empat. Memasuki ruangan studio yang mewah tersebut saya mendapati dirinya tengah berdebat dengan komposer terkenal Erwin Gutawa. Belakangan saya diberitahu bahwa Erwin Gutawa memang ikut menjadi produser bagi dua lagu di album ini, salah satunya adalah lagu “Berakhir Indah” yang sekilas pattern drumnya mengingatkan saya pada sebuah lagu Phil Collins yang berjudul “Take Me Home”. Selain Gutawa, komposer Addie MS, Piyu Padi dan Bongky BIP juga terlibat dalam penggarapan album barunya yang rencananya bakal dirilis bulan Mei 2006 nanti oleh Aquarius Musikindo.



Lasso menegaskan bahwa dirinya kini jauh lebih serius saat menggarap album ini karena ia merasa industri musik itu bukanlah ilmu pasti, bahwa barang bagus akan selalu laku apalagi barang setengah bagus. “Gue akan selesaikan album ini dan merilisnya ketika gue sudah merasa puas. Kalau nanti gue dengar lagi lagunya, mood-nya bagaimana satu album itu, belum tentu dirilis, mungkin bisa tambah lagu lagi,” ungkap Lasso yang mengaku cukup perfeksionis dalam menggarap sesuatu.



Ketika ditanya apakah dirinya tidak bosan terus menerus mengambil tema cinta di seluruh albumnya, dengan lugas ia menjawab bahwa dirinya tidak menguasai tema lain dan juga tidak mau mengada-ada. Ia menegaskan bahwa tema yang ia kuasai hanya cinta. “Suara gue nggak cocok buat marah-marah. Soul gue ada di sini, gue selalu mengerjakan sesuatu dengan soul. Misi gue menghibur, menyuarakan kegelisahan orang tentang cinta, mencoba mewakili apa yang gue rasakan dan gue yakini dirasakan oleh orang banyak. Kalau gue memotret ketidakadilan, sosialisme, percuma sebenarnya….Musik dan lirik itu change nothing. Realitas dunia ini adalah sosial dan politik yang hanya bisa berubah dengan tindakan sosial dan tindakan politik,” ujar Lasso berapi-api.



Dewa19 yang namanya kian melambung di kancah musik nasional ternyata saat itu tak hanya memiliki satu orang pecandu drugs di dalam line-up mereka. Menurut Lasso, hampir semua personel Dewa19 saat itu menggunakan drugs. Selain Lasso, ada pula Erwin Prasetya, bassist Dewa19 serta sang band leader, Dhani Ahmad. “Dhani cukup lama makai, sekitar tiga sampai empat bulan dia jadi pemakai. Begitu Dhani tahu gue kecanduan, dia langsung berhenti. Bangsat tuh anak,” katanya seraya tertawa terbahak-bahak, “Dhani nggak terlalu mendedikasikan dirinya untuk mabuk.” Bagi Lasso, album masterpiece Dewa19 adalah Terbaik Terbaik. “Album itu pencapaian session pertama sebelum pindah ke alternatifnya Aksan Syuman. Aransemennya gila banget. Itu album heroin. Aransemen dan liriknya semua heroin,” ujar Lasso masih tertawa.



Di album ketiga Dewa19 tersebut Lasso menerangkan bahwa yang mengisi track drum adalah Rere, drummer Grass Rock. Orang ini menurut Ari juga sempat menjadi kandidat drummer Dewa19. Hanya saja saat itu Dhani, cerita Lasso, sempat berkomentar, “Kalau Rere masuk berarti drug addict-nya ada tiga dong, yang sehat cuma dua.” Konon gara-gara faktor inilah Rere kemudian tidak jadi direkrut ke dalam formasi Dewa19. Ketika Lasso menjawab pertanyaan saya apakah ia sering berbenturan pendapat dengan Dhani mengenai masalah narkotika ini, ia menjawab singkat saja, “Dhani bukan orang yang suka berpendapat tentang hal seperti itu, dibiarin aja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar